Jadi semua perilaku manusia hakekatnya
disetir oleh jiwa atau nafs-nya. Tapi nafs mempunyai banyak anggota, yang oleh
al-Ghazzali disebut tentara hati (junud al-qalbi). Anggota nafs dalam al-Qur’an
diantaranya adalah qalb (hati), ruh (roh), aql (akal) dan iradah (kehendak)
dsb. Al-Qur’an menyebut kata nafs sebanyak 43 kali, 17 kali kata qalb-qulub, 24
kali kata ta’aqilun (berakal), dan 6 kali kata ruh-arwah. Itulah, modal manusia
untuk hidup di dunia.
Nabi menjelaskan peran qalb dalam hidup manusia. Menurutnya, aspek penentu
hakekat manusia adalah segumpal darah (mudghah), yang disebut qalb.
Gumpalan itulah yang menjadi penentu kesalehan dan kejahatan jasad manusia (HR.
Sahih Bukhari). Karena begitu menentukannya fungsi qalb itulah Allah hanya
melihat qalb manusia dan tidak melihat penampilan dan hartanya. (HR. Ahmad ibn
Hanbal). Sejatinya, qalb adalah wajah lain dari nafs, maka dari itu qalb
atau nafs manusia itu bertingkat-tingkat. Para ulama menemukan tujuh tingkatan
nafs dari dalam al-Qur’an:
Pertama, nafs al-ammarah bi al-su’,
atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang
melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat,
ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi. Kedua, nafs al-lawwamah.
Ini adalah nafs yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafs yang pertama.
Dengan adanya bisikan dari qalb-nya, nafs menyadari kelemahannya dan kembali
kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan dapat meningkatkan diri
kepada tingkat diatasnya.
Tingkat ketiga adalah Nafs
al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki
tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap
prinsip-prinsip. Ketika nafs ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera
akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya. Keempat, Nafs
al-mutma’innah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak
mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat
materi.
Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa
yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa
hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa:
Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu
adalah kebutuhanku). Keenam, Nafs al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia.
Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan
perut dan syhawatnya tidak lagi bergejolak dominan. Ketujuh, Nafs
al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat ini seseorang dapat disifati
sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya pasrah pada Allah dan
mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya keluar
dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.
Begitulah jiwa manusia. Ada
pergulatan antara jiwa hewani yang jahat dengan jiwa yang tenang. Ada
peningkatan pada jiwa-jiwanya yang tenang itu. Sahabat Nabi Sufyan al-Thawri
pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih kuat
dari nafsunya; terkadang nafsu itu memusuhinya dan terkadang membantunya. Ibn
Taymiyyah menggambarkan pergulatan itu bersumber dari dua bisikan: bisikan
syetan (lammat a-syaitan) dan bisikan malaikat )lammat al-malak).
Perang melawan nafsu jahat banyak
caranya. Sahabat Nabi Yahya ibn Mu’adh al-Razi memberikan tipsnya. Ada empat
pedang untuk memerangi nafsu jahat: makanlah sedikit, tidurlah sedikit,
bicaralah sedikit dan sabarlah ketika orang melukaimu… maka nafs atau ego itu
akan menuruti jalan ketaatan, seperti penunggang kuda dalam medan perang.
Memerangi nafsu jahat ini menurut Nabi adalah jihad. Sabdanya “Pejuang adalah
orang yang memperjuangkan nafs-nya dalam mentaati Allah” (al-Mujahidu man
jahadi nafsahu fi ta’at Allah ‘azza wa jalla). (HR.Tirmidhi, Ibn Majah, Ibn
Hibban, Tabrani, Hakim dsb).
Kejahatan diri dalam al-Qur’an juga
dianggap penyakit (QS 2:10). Sementara Nabi mengajarkan bahwa setiap penyakit
ada obatnya. Para ulama pun lantas berfikir kreatif. Ayat-ayat dan
ajaran-ajaran Nabi pun dirangkai diperkaya sehingga membentuk struktur
pra-konsep. Dari situ menjadi struktur konsep dan akhirnya menjadi disiplin
ilmu.
Ilmu tentang jiwa atau nafs itu pun
lahir dan disebut Ilm-al Nafs, atau Ilm-al Nafsiyat (Ilmu tentang Jiwa). Ketika
Ilmu al-Nafs berkaitan dengan ilmu kedokteran (tibb), maka lahirlah istilah
al-tibb al-ruhani (kesehatan jiwa) atau tibb al-qalb (kesehatan mental). Tidak
heran jika penyakit gangguan jiwa diobati melalui metode kedokteran yang
dikenal dengan istilah al-Ilaj al-nafs (psychoteraphy).
Dalam Ilmu al-Nafs ditemukan bahwa
raga dan jiwa berkaitan erat, demikian pula penyakitnya. Psikolog Muslim asal
Persia Abu Zayd Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), menemukan teori bahwa
penyakit raga berkaitan dengan penyakit jiwa. Alasannya, manusia tersusun dari
jiwa dan raga. Manusia tidak dapat sehat tanpa memiliki keserasian jiwa dan
raga. Jika badan sakit, jiwa tidak mampu berfikir dan memahami, dan akan gagal
menikmati kehidupan. Sebaliknya, jika nafs atau jiwa itu sakit maka badannya
tidak dapat merasakan kesenangan hidup. Sakit jiwa lama kelamaan dapat menjadi
sakit fisik. Itulah sebabnya ia kecewa pada dokter yang hanya fokus pada sakit
badan dan meremehkan sakit mental. Maka dalam bukunya Masalih al-Abdan wa
al-Anfus, ia mengenalkan istilah al-Tibb al-Ruhani (kedokteran ruhani).
Jadi, hakekatnya manusia yang
dikuasai oleh dorongan nafsu hewani dan nabati saja, boleh jadi sedang sakit.
Manusia sehat adalah manusia yang nafsunya dikuasai oleh akalnya, qalb-nya
untuk taat pada Tuhannya. Itulah insan kamil yang memiliki jiwa yang tenang,
yang kembali pada Tuhan dan masuk surganya dengan ridho dan diridhoi. Itulah
manusia yang selama hidupnya menjadi sinar cahaya (misykat) bagi umat manusia.
sember: Insistnet.com
No comments:
Post a Comment