Wednesday 27 April 2016

Melayu di Lembah Buner Pakistan

Dalam sebuah acara di KBRI Islamabad, salah seorang kawan dari madrasah menceritakan tentang perjalanannya ke sebauh wilayah di barat laut Pakistan. katanya penduduk wilayah itu banyak yang bisa berbahasa Melayu, namanya Buner. Benarkah?. obrolan singkat itu lalu menyisakan rasa penasaran terhadap daerah tersebut.

Hingga suatu ketika, seorang mahasiswa Indonesia mengajak saya  menghadiri pesta  penikahan temannya yang tinggal di Buner. gayung bersambut, tanpa pikir panjang saya lagsung mengiyakan tawaran teman.

Langkah pertama yang kami lakukan setelah sepakat melakukan perjalanan ke Buner adalah menyampaikan niat perjalanan kami asisten Atase Pertahanan saat itu. Bagaimanapun wilayah itu masih termasuk wilayah rawan konflik. Maka pertimbangan dan nasehat beliau tentu sangat penting bagi kami. Beliau mengizinkan kami berangkat dengan pesan agar lebih berhati-hati.



Buner sebuah wilayah di provinsi Khayber Puktunkhwa (KPK) kurang lebih 180 kilometer dari  kota Islamabad. setelah bernegosiasi dengan dompet, kami akhirnya memilih alternatif paling murah dari ibu kota islamabad, dengan menggunkan wegen dari Mandi Moor ke terminal Mardan.  Dalam perjalanan ke Mardan saya sampaikan kepada teman tujuan saya ke Buner selain menghadiri undangan pernikahan, juga untuk membunuh rasa penasaran terhadap wilayah yang kata Olaf Caroes dalam bukunya "The Pathan" pernah dilewati oleh Alexander the Great dan pasukannya. selain itu konon banyak penduduknya mampu berbahasa Melayu.

“Ah Masa..”ujar teman tidak percaya.

Ketika sampai di teminal Mardan. Baru beberapa saat setelah turun dari Wegen, tiba-tiba seorang menyapa kami

“abang mau kemana?” saya menoleh, eh ternyata baijan Pakistan.

 “Malesyie kah Indonesyie?” lanjutnya.

“Indonesia.  saya mau ke Bunier” Jawab saya.

 “bener Juga kata kamu” potong teman saya.

 “ape aku kata, Percaya sajalah sama abang ini” Balasku bercanda.

Dalam perjalanan melewati perbukitan, saya sempat menanyakan kondisi keamanan kepada di wilayah Bunier. Sebab konon katanya, wilayah itu pada tahun 2009 pernah dikuasai oleh kelompok Taliban.  meskipun akhirnya  mereka berhasil dipukul mundur oleh militer Pakistan. Pak sopir membenarkan keterangan tersebut. Namun saat ini, kondisi disana sudah stabil dan telah direbut kembali oleh pemerintah Pakistan.

Karena Buner merupakan salah satu pintu masuk ke wilayah Swat yang  masih sering terjadi kekerasan bersenjata maka di jalan banyak check point. Beberapa kali wegen yang kami diberhentikan oleh aparat keamanan Pakistan.

“abang tidak usah khawatir. jikalau ade paspor dan visa, abang aman disini” ujar sopir.

Ketika kami diberhentikan oleh tentara yang bertugas di chek point,mereka memeriksa kami dengan bahasa Pushtu. Karena tidak paham bahasa mereka, akhirnya si sopir turun tangan menjelaskan kepada tentara yang berjaga bahwa kami akan menghadiri undangan pernikahan teman satu kampus, sambil menunjukan kartu undangan, paspor, visa bahkan dan kartu mahasiswa.

Turun dari mobil kami langsung dijemput oleh keluarga teman. Beberapa dari yang menjemput juga bisa berbahasa melayu. Di rumah juga  telah berkumpul keluarga dan teman-temannya. jadilah obrolan kami menggunakan bahasa Melayu.

keesokan harinya, saat hendak jalan-jalan sekitar kota Bunier, kami sempat ngisi bensin di Pom, ternyata petugas pom bensin juga bisa barbahasa melayu. Dari paman teman, saya tau ternyata sejak dahulu orang Buner suka merantau mencari kerja. Jika tidak ke Arab mereka ke Malaysia. Makanya banyak yang bisa berbahasa Melayu.

Dia sendiri pernah tinggal di Malayasia lebih dua puluh tahun.Anak-anaknya ada yang sekolah di sana. Sebagaian mereka bahkan ada yang menikah dengan perempuan Malaysia atau Indonesia. Ada yang tetap tinggal di Malaysia dan ada yang pulang membawa keluarganya ke Buner. intinya tidak sulit nyari orang yang bisa berbahasa Melayu di daerah ini.

Sepupu teman yang mengantar kami jalan-jalan  bahkan lancar berbahasa Melayu. Ketika saya tanya bagaimana dia bisa  berbahasa Melayu? ternyata dia juga pernah ke Malaysia saat mengunjungi saudaranya. Dia tinggal di Selangor selama enam bulan. Dalam empat bulan dia sudah bisa berbahasa Melayu. 

Saya sempat menanyakan  tips belajar bahasa lain. Ia hanya mengatakan intinya mau dan serius belajar. Saya paham bahasa melayu karena saya mau bercakap dengan orang Malayasia dan Indonesia yang ada di sana. Makanya saya cepat paham meskipun awal-awal sering salah. Ia kumudian menutup. “Abang mesti tak  paham cakap urdu” saya ngangguk membenarkan, padahal saya sudah tinggal dua tahun di negara ini. “betul, sebab abang tak cakap dengan orang Pakistan”.

No comments:

Post a Comment