Tuesday 30 August 2016

Menanti Senja di Perkampungan Senja Saidpur

Dari jauh Saidpur village mungkin tampak tak ada bedanya dengan perkampungan lainnya di sekitar kota Islamabad. Setelah dekat, barulah terlihat perbaedaan. Untuk mencapai desa, Hanya butuh sekitar 15 menit perjalanan melewati Marghala Road dari masjid Faishal. Kami  berhenti di area parkiran tepi kali. Saat itu pukul tiga sore, hembusan angin dari bukit menembus celah jaket, menusuk tulang. Musim dingin terasa semakin menyayat. Semburat cahaya mereh menerpa kursi-kursi restoran yang telah ditata rapi. Perkampungan merona indah tersorot senja dari ufuk barat, menghamparkan kemilau merah pada dinding rumah kotak yang besusun rapi di kaki bukit. Dua jam lagi pemancar cahaya itu akan berlabuh diperaduannya. 
Perkampungan Saidpur memiliki warna dan corak tersendiri. Ia menghimpun perjalan panjang generasi anak manusia dari zaman ke zaman. Silih berganti pemimpin menguasai wilayah tersebut. Hingga pada akhirnya jatuh ketangan penguasa Mughal. Lalu berubah nama menjadi Saidpur.

Saidpur, sebuah perkampungan yang  terletak di lereng bukit Margalla pinggir kota  Islamabad. Merupakan salah satu desa tertua dalam sejarah Pakistan. Perkampungan  kecil itu telah melawati usianya yang lebih dari lima abad atau lima ratus tahun lamanya, warisan sejarah dengan beragam hikayat. Saat ini, Saidpur telah disulap menjadi salah satu tujuan piknik favorit di Islamabad. Desa kecil yang selalu menyajikan kelembutan pesona cahaya surya di pagi dan sore hari.
Konon, perkampungan ini telah menyaksikan sejarah kuno dan menapaki multi-peradaban dengan berbagai dimensinya. Zaman peradaban Gandhara Budha. Zaman kebesaran Yunani, ketika Alexander Great bersama pasukannya menembus wilayah Swat, perkampungan ini telah eksis. Menyaksiskan gerak ekspansi Asoka dari Dinasti Maurya, Era Mughal Islam yang membentangkan kekuasaannya hampir keseluruh penjuru anak benua india, dan Era penjajahan Inggris serta perjuangan rakyat yang enggan tertindas hingga berdirinya Negara Pakistan.
Sebelum berubah nama menjadi Saidpur, sejarah mencatat nama kampung tersebut adalah Fatihpur. Kemudian menjadi Saidpur. Saidpur di ambil dari nama Sultan Said Khan. Putra  Sultan Sarang Khan. Penguasa Gakhar dari wilayah Pothohar yang memiliki wiayah pemerintahan terbentang luas dari Attock hingga Jehlum, pada  masa pemerintahan Raja Babur Kesultanan Mughal. Khan kemudian menyerahkan wilayah tersebut kepada putrinya yang menikah dengan Sultan Mughal, Jahangir. Dalam diari Sultan Jahangir, Tuzk-i-Jahangiri, ia menuliskan, ketika perjalanan ke Kabul, dirinya berada di sebuah tempat yang luar Rawalpindi. Ahli sejarah menyakini tempat yang dimaksud luar Rawalpindi  adalah Perkampungan Saidpur.
Di era Mughal Islam, perkapungan Saidpur merupakan perkampungan yang maju. Didesign dengan tampilan tata wilayah yang rapi dan arsitektur yang apik. Dikelilingi taman hijau, aliran  air dari bukit Marghala. Persediaan air yang melimpah menjadi sumber untuk menyirami taman-taman yang dibangun penguasa Mungal di sekitar perkampungan.
Penduduk Saidpur hidup harmoni antar pemeluk agama. Islam, Hindu dan Sikh. Hal itu terbukti dengan dibangunnya  Mesjid disamping kali yang dulunya sumber air minum yang bersih, juga Gurdwara tempat ibadah penganut agama Sikh dan  kuil Hindu, semua kokoh berdekatan satu sama lain.
Pembangunan kuil Hindu itu diperkirakan pada tahun 1580an Masehi. Ketika Raja Akbar dan Raja Mang Singh, salah seorang jendral perang dinasti  Mughal yang sangat terkenal ke Kabul - Ibu kota Afganistan saat ini- untuk menumpas pemberontakan gubernur Kabul, Mirza Hakim. Dalam perjalanan itu, pasukan singgah beristirahat di salah satu wilayah di Rawalpindi.
Raja Khan lalu mengundang Raja Man Singh untuk jalan-jalan ke Saidpur. keindahan, keharmonisan dan kesejukan desa menarik hati Man Singh. Ia lalu meminta izin kepada raja untuk membangun kuil Hindu dengan biaya dari saku dia sendiri. Kuil  itu diperuntukan bagi penganut Hindu kasta tinggi yang mendiami desa tersebut. Hanya mereka yang boleh masuk ke dalam kuil. Hindu kasta rendah tidak diperbolehkan menginjakkan kaki begitu pun penganut Islam.  Man Singh juga membangun dua kamar Dharmashala atau penginapan serta empat kolam yaitu Ram Kund, Lakshman Kund, Sita Kund dan Hanuman Kund.
Adapun Gurdwara sejarahwan meyakini dibangun oleh penganut Sikh di awal abad 20.
Desa indah Saidpur hingga saat ini dihuni oleh Suku Rajput dan Gakhar. keturunan Mirza Fateh Ali Beg, dan marga Mughal, yang telah mendiami wilayah tersebut sejak sekitar 1530 Masehi.
Pada tahun 2006 pemerintah Pakistan menetapkan Saidpur sebagai desa wisata khusunya dalam memperkenalkan warisan multi-budaya di kaki bukit Marghala. Hal ini menyebabkan dilakukannya pemugaran dibeberapa tempat. Termasuk Candi dan Gurdwara.
Candi tidak lagi menjadi tempat ibadah penganut Hindu sebab telah ditinggal sejak tahun 80an ketika para penganut Hindu pindah ke India. Pemerintah lalu mengubahnya menjadi museum. Bagi yang ingin mengetahui sejarah pembangunan kota Islamabad, bisa menelusurinya melalui foto-foto yang terpajang di dinding museum sembari menikmati petikan kecapi dengan lantunan syair-syair urdu dari depan museum. adapun Gurdrawa Sikh telah dialih fungsikan menjadi sebuah sekolah. 
Saidpur, perkampungan kecil nan indah menjadi saksi dimana  Muslim, Hindu dan Sikh, pernah hidup harmoni berdampingan.

Meski wajah asli desa telah dipoles namun gurat kampung tua dengan usianya
yang berabad-abad tidak terhapuskan. Pintu gerbang desa menyajikan pemandangan desa tua yang dikelilingi pohon hijau nan tenang. Disusul restoran dan rumah makan serta deretan kios-kios kayu dengan wajah tradisionalnya menyajikan souvenir dan makanan tradisional Pakistan untuk para wisatawan. 

No comments:

Post a Comment