Monday 12 September 2016

Masjid Markazi Jamiah, Si Kubah Biru Penantang Kebisingan Pasar

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit dari kampus International Islamic University Islamabad (IIUI) dengan motor 70 CC, saya dan seorang teman berhasil menembus kemacetan sepanjang jalan, semburan asap hitam dari kenalpot qinqi dan bajai serta kebisingan suara mesin kendaran yang saling  menyalip berusaha berebut setiap jalur kosong.

Kami   menepi di depan sebuah toko. dekat  dua orang polisi lalu lintas berpenampilan sedikit kucel – mungkin akibat terik dan hempasan debu jalan- dengan handtalk ditangan. Seorang dari mereka berusaha menertibkan pengguna jalan yang sok ‘pemilik jalanan’. Ngotot  jalan lebih dulu, memotong jalur, menerobos dari jalur berlawanan hingga menimbulkan kemacatan di perempatan  Raja Bazar Rawalpindi.


Saya mendekati salah seorang polisi yang sedang bersandar di sebuah portal. Dari wajahnya tampak aurah kelelahan. Terik matahari sore menerpa sebagian tubuhnya. “Sir, kider Markazi Jamiah Masjid road?” Saya menanyakan nama jalan yang telah dinisbakan pada sebuah masjid dengan kemampuan bahasa Urdu seadanya. Ia menunjukan arah jalan dengan tanganya yang erat mengengam handtalk.

Hanya sekitar dua ratus meter dari posisi berdiri pak polisi, sebuah pintu gerbang berlukiskan kalimat syahadat –Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah- yang hampir pudar tertutup debu. Kabel listrik melintang tak beraturan di atasnya. Gerbang masuk Masjid Jamiah Markazi Rawalpindi.

Pandangan saya teredar pada bangunan sekitar gerbang. Berjejer toko-toko dengan aneka ragam barang dagangan. Toko mesin jahit mendominasi. Saya perhatikan toko-toko tua itu. Saya perkirakan, bangunan itu dulunya merupakan
bagain dari bangunan masjid. namun  saat ini bagian depannya telah dijadikan toko-toko atau bisa jadi, sejak awal bangunan tua itu memang diperuntukkan bagi para pedagang yang ingin membuka toko. Entahlah..! Kurang lebih seratus meter sebelah utara pintu gerbang tampak sebuah masjid lain yang berdiri kokoh. Orang-orang sekitar pertokoan menyebutnya masjid Ahlul Hadits.

Memasuki area masjid. Kami disajikan tampilan kubah masjid dengan warna biru diapit dua belas menara kecil. Sementara di belakang tempat solat bagian luar masjid terdapat sebuah kolam persegi dikelilingi pipa besi yang menyalurkan air untuk wudhu . tampak pula puncak atap gurdawara yang letaknya tidak jauh dari area masjid Markazi Jamiah.

Beberapa orang terlihat sedang mengerjakan solat Ashar sendiri-sendiri, Lainnya sibuk berzikir, ada yang membaca Alquran. Dari jam penunjuk waktu solat yang tertempel di dinding, saya tau bahwa solat jamaah Ashar sudah selesai sekitar empat puluh menit yang lalu. Meski terlambat, mereka tetap mengingat kewajiban sebagai seorang muslim. Disaat sebagain orang terlena dengan hiruk pikuk keramaian pasar di sore hari, segelintir hamba mendatangi Robbnya. Menunjukan kepatuhan akan perintahnya. Mengakui kelemahannya, mengadukan kelelahannya kepada Sang penggenggam kekayaan.

Semburat  merah memantulkan cahaya di tembok bangunan masjid. Saya dan teman melangkah ke bagian depan masjid. Mengamati lukisan apik bunga-bungaan dan kaligrafi di seluruh tembok, tiang dan atap masjid. Khas kaligrafi anak benua india. 

Masjid didesain hampir sama dengan masjid era Mughal Islam pada umumnya. Ada bagian yang terbuka dan ada yang tertutup. Karena masih musim panas, meskipun telah memasuki akhir musim, masyarakat masih menggunkan bagian terbuka masjid untuk solat. Adapun bagian tertutupnya digunakan saat musim dingin.

Meski warna bangunan luar masjid sudah mulai pudar termakan zaman, namun keindahan dan kemegahannya tetap terpancar. Adapun bagian dalam masjid, masih jelas lukisan tangan di dinding bangunan dan atap masjid.

Puas jeprat jempret, salah seorang pengurus masjid mengajak kami bertemu dengan imam Mesjid, namanya Maulana Hafidz Muhammad Iqbal Razwi. Kami dipersilahkan masuk ke ruagannya. Obrolan singkat kami dengan pak imam tentu seputar masjid. Darinya kami mendengar sekilas sejarah tentang masjid berkubah tiga ini. Mesjid ini awalnya dibangun di tengah kemajemukan masyarakat Rawalpindi. Ada penganut Hindu, Sikh dan Muslim. Masjid ini diabangun ‘bersaing’ dengan candi dan gurdwara yang ada disekitarnya.

Bukan karena tidak ada masjid sehingga masjid Markazi Jamiah dibangun. Justru, masa itu kurang lebih delapan puluh masjid di kota Rawalpindi. Namun, tak satupun yang menjadi Markaz, khusunya untuk hari-hari besar kaum muslimin seperti Idul Fitri, Idul Adha atau untuk Solat Jumat sekalipun.

Maka diinisiasilah pembangunan masjid sebagai masjid pusat acara-acara besar kaum muslimin. Pembangunan masjid ini terbilang tidak mudah. Ketika Qazi Gauhar Ali, Mian Qutbuddin dan Mian Nabi Bakhsh memutuskan pembanguan masjid, berbagai hambatan datang silih berganti. Termasuk penentagan dari pengunut Hindu dan Sikh. Hadirnya masjid megah ini tentu menjadi saingan kemegahan rumah ibadah mereka.

Selain penentagan dari penganut agama lain. Masalah lain adalah minimnya dana. Panitia kemudian mengutus tim fundraising ke berbagai wilayah untuk mengumpulkan dana. Dana yang terkumpul dari para penguasa wilayah punjub dan Peshawar ternyata belum bisa memenuhi kebutuhan. Tak hanya penguasa wilayah yang mendonasikan harta mereka. Masyarakat juga turut serta menyumbang pembangunan. Bahkan, banyak ibu-ibu yang menjual perhisaan mereke untuk mensukseskan pemabangunan masjid megah yang kelak jadi kebanggaan ummat Islam setempat.

Konon, pelatakan batu pertama dilakukan oleh pangeran Shah Muhammad Ayub Shiraz Haider yang diasingkan dari Afganistan. Pembagunan masjid mengabiskan dua tahun lamanaya. Rampung pada tahun 1905 dengan kapasistas jamaah delapan ribu orang. Selain tempat solat. Masjid juga menyediakan fasilitas kamar-kamar bagi para santri yang sedang menghafal Al-Quran yang masih berfungsi hingga saat ini.

Tak terasa matahari semakin dekat ke peraduannya. Lantunan shalawat menggema dari pengeras suara masjid menandakan semakin dekatnya waktu solat Magrib, menggugah pemilik iman untuk bersiap menyambut panggilan Robbnya. Sejenak meninggalkan kebisingan pasar dan hanyut dalam syahdunya penghambaan.



Saya dan teman pamit, kami langsung ke tempat wudhu. Hanya beberapa setelah azan, maulana Hafidz Muhammad Iqbal keluar dari biliknya untuk memimpin solat jamaah magrib. Usai solat Magrib, kami melangkahkan kaki keluar meninggalkan masjid yang  telah memasuki abad ke dua dari usianya tersebut.

No comments:

Post a Comment