Setelah menempuh perjalanan
kurang lebih tiga puluh menit dari kampus International Islamic University Islamabad (IIUI) dengan motor 70 CC, saya dan
seorang teman berhasil menembus kemacetan sepanjang jalan, semburan asap hitam dari kenalpot qinqi dan
bajai serta kebisingan suara mesin kendaran yang saling menyalip
berusaha berebut setiap jalur kosong.
Kami menepi di depan sebuah toko. dekat dua orang polisi lalu lintas berpenampilan
sedikit kucel – mungkin akibat terik dan hempasan debu jalan- dengan handtalk
ditangan. Seorang dari mereka berusaha menertibkan pengguna jalan yang sok
‘pemilik jalanan’. Ngotot jalan lebih
dulu, memotong jalur, menerobos dari jalur berlawanan hingga menimbulkan
kemacatan di perempatan Raja Bazar Rawalpindi.
Saya mendekati salah seorang polisi
yang sedang bersandar di sebuah portal. Dari wajahnya tampak aurah kelelahan.
Terik matahari sore menerpa sebagian tubuhnya. “Sir, kider Markazi Jamiah
Masjid road?” Saya menanyakan nama jalan yang telah dinisbakan pada sebuah masjid dengan kemampuan bahasa Urdu seadanya.
Ia menunjukan arah jalan dengan tanganya yang erat mengengam handtalk.
Hanya sekitar dua ratus meter
dari posisi berdiri pak polisi, sebuah pintu gerbang berlukiskan kalimat syahadat
–Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah- yang hampir pudar tertutup debu. Kabel
listrik melintang tak beraturan di atasnya. Gerbang masuk Masjid Jamiah Markazi
Rawalpindi.
Pandangan saya teredar pada bangunan
sekitar gerbang. Berjejer toko-toko dengan aneka ragam barang dagangan. Toko
mesin jahit mendominasi. Saya perhatikan toko-toko tua itu. Saya perkirakan,
bangunan itu dulunya merupakan
bagain dari bangunan masjid. namun saat ini bagian depannya telah dijadikan
toko-toko atau bisa jadi, sejak awal bangunan tua itu memang diperuntukkan bagi
para pedagang yang ingin membuka toko. Entahlah..! Kurang lebih seratus meter sebelah
utara pintu gerbang tampak sebuah masjid lain yang berdiri kokoh. Orang-orang
sekitar pertokoan menyebutnya masjid Ahlul Hadits.
Memasuki area masjid. Kami
disajikan tampilan kubah masjid dengan warna biru diapit dua belas menara kecil. Sementara di belakang tempat solat bagian luar masjid terdapat sebuah kolam persegi dikelilingi pipa besi yang menyalurkan air untuk wudhu . tampak pula puncak atap gurdawara yang letaknya tidak jauh
dari area masjid Markazi Jamiah.
Beberapa orang terlihat sedang
mengerjakan solat Ashar sendiri-sendiri, Lainnya sibuk berzikir,
ada yang membaca Alquran. Dari jam penunjuk waktu solat yang tertempel di
dinding, saya tau bahwa solat jamaah Ashar sudah selesai sekitar empat puluh
menit yang lalu. Meski terlambat, mereka tetap mengingat kewajiban sebagai
seorang muslim. Disaat sebagain orang terlena dengan hiruk pikuk keramaian
pasar di sore hari, segelintir hamba mendatangi Robbnya. Menunjukan kepatuhan akan perintahnya. Mengakui kelemahannya,
mengadukan kelelahannya kepada Sang penggenggam kekayaan.
Semburat merah memantulkan cahaya di tembok bangunan
masjid. Saya dan teman melangkah ke bagian depan masjid. Mengamati lukisan apik
bunga-bungaan dan kaligrafi di seluruh tembok, tiang dan atap masjid. Khas
kaligrafi anak benua india.
Masjid didesain hampir sama dengan masjid era Mughal Islam pada umumnya. Ada bagian yang terbuka dan ada yang tertutup. Karena masih musim panas, meskipun telah memasuki akhir musim, masyarakat masih menggunkan bagian terbuka masjid untuk solat. Adapun bagian tertutupnya digunakan saat musim dingin.
Masjid didesain hampir sama dengan masjid era Mughal Islam pada umumnya. Ada bagian yang terbuka dan ada yang tertutup. Karena masih musim panas, meskipun telah memasuki akhir musim, masyarakat masih menggunkan bagian terbuka masjid untuk solat. Adapun bagian tertutupnya digunakan saat musim dingin.
Meski warna bangunan luar masjid
sudah mulai pudar termakan zaman, namun keindahan dan kemegahannya tetap
terpancar. Adapun bagian dalam masjid, masih jelas lukisan tangan di dinding
bangunan dan atap masjid.
Puas jeprat jempret, salah
seorang pengurus masjid mengajak kami bertemu dengan imam Mesjid, namanya
Maulana Hafidz Muhammad Iqbal Razwi. Kami dipersilahkan masuk ke ruagannya. Obrolan
singkat kami dengan pak imam tentu seputar masjid. Darinya kami mendengar
sekilas sejarah tentang masjid berkubah tiga ini. Mesjid ini awalnya dibangun di
tengah kemajemukan masyarakat Rawalpindi. Ada penganut Hindu, Sikh dan Muslim.
Masjid ini diabangun ‘bersaing’ dengan candi
dan gurdwara yang ada disekitarnya.
Bukan karena tidak ada masjid
sehingga masjid Markazi Jamiah dibangun. Justru, masa itu kurang lebih delapan
puluh masjid di kota Rawalpindi. Namun, tak satupun yang menjadi Markaz,
khusunya untuk hari-hari besar kaum muslimin seperti Idul Fitri, Idul Adha atau
untuk Solat Jumat sekalipun.
Maka diinisiasilah pembangunan
masjid sebagai masjid pusat acara-acara besar kaum muslimin. Pembangunan masjid
ini terbilang tidak mudah. Ketika Qazi Gauhar Ali, Mian Qutbuddin dan Mian Nabi
Bakhsh memutuskan pembanguan masjid, berbagai hambatan datang silih berganti.
Termasuk penentagan dari pengunut Hindu dan Sikh. Hadirnya masjid megah ini
tentu menjadi saingan kemegahan rumah ibadah mereka.
Selain penentagan dari penganut
agama lain. Masalah lain adalah minimnya dana. Panitia kemudian mengutus tim fundraising ke berbagai wilayah untuk mengumpulkan dana. Dana yang terkumpul dari
para penguasa wilayah punjub dan Peshawar ternyata belum bisa memenuhi
kebutuhan. Tak hanya penguasa wilayah yang mendonasikan harta mereka. Masyarakat
juga turut serta menyumbang pembangunan. Bahkan, banyak ibu-ibu yang menjual
perhisaan mereke untuk mensukseskan pemabangunan masjid megah yang kelak jadi
kebanggaan ummat Islam setempat.
Konon, pelatakan batu pertama
dilakukan oleh pangeran Shah Muhammad Ayub Shiraz Haider yang diasingkan dari
Afganistan. Pembagunan masjid mengabiskan dua tahun lamanaya. Rampung pada
tahun 1905 dengan kapasistas jamaah delapan ribu orang. Selain tempat solat.
Masjid juga menyediakan fasilitas kamar-kamar bagi para santri yang sedang
menghafal Al-Quran yang masih berfungsi hingga saat ini.
Tak terasa matahari semakin dekat
ke peraduannya. Lantunan shalawat menggema dari pengeras suara masjid
menandakan semakin dekatnya waktu solat Magrib, menggugah pemilik iman untuk
bersiap menyambut panggilan Robbnya. Sejenak meninggalkan kebisingan pasar dan
hanyut dalam syahdunya penghambaan.
Saya dan teman pamit, kami
langsung ke tempat wudhu. Hanya beberapa setelah azan, maulana Hafidz Muhammad
Iqbal keluar dari biliknya untuk memimpin solat jamaah magrib. Usai solat
Magrib, kami melangkahkan kaki keluar meninggalkan masjid yang telah memasuki abad ke dua dari usianya
tersebut.
No comments:
Post a Comment