Ide jalan-jalan muncul ketika acara pemotongan hewan Qurban PPMI Pakistan. Saya dan tiga
orang teman berencana mengunjungi benteng peninggalan bersejarah di distrik Rawalpidi. Kurang lebih delapan belas kilometer dari pusat
kota Islamabad.
Kami berangkat menggunkan dua sepeda motor. Setelah melalui perjalanan kurang lebih lima puluh menit kami tiba
kota Rawat, perbatasan antara Islamabad dan Rawalpindi. Kota pertama setelah keluar dari Islamabad. Di
kota Rawat inilah terdapat sebuah benteng yang dibangun pada awal abad ke
enam belas.
Namanya benteng Rawat. Nama Rawat diambil dari bahasa Arab "Ribaat". Dalam bahasa
Urdu "Seria" yang berarti Patroli atau berjaga-jaga. Benteng tersebut
merupakan basis pertahanan suku Gukhars
yang dipimpin oleh Sultan Sarang Khan. Sultan Sarang Khan merupakan salah
seorang pemimpinan yang loyal kepada kekaisaran Mughal yang pada saat itu
berpusat di Delhi.
Kekuasaan Sultan Sarang terbentang dari Rawalpindi Hingga
Islamabad. Bahkan perkampungan wisata Saidpur di pinggir kota Islamabad,
dulunya merupakan wilayah kekuasaan Sultan
Sarang. Said Pur kemudian ia
hadiahkan kepada putrinya yang menikah dengan Raja Mughal.
Sesampai di kota Rawat,
kami bertanya ke beberapa orang letak Rawat Fort. Namun tak ada yang paham
makna fort. Hampir semua yang
kami tanya menjawab “ye Rawat” artinya ini kota Rawat". Tapi ketika menanyakan Rawat
Fort semua menggeleng, “Patha Nehi Bhai” jawab mereka tidak tahu.
Susah mencari orang yang bisa yang berbahasa
Ingris, sementara kami
tidak lancar berbahasa urdu.
Sialnya lagi, kami tidak
sempat mencari makna benteng dalam bahasa Urdu sebelum jalan. Karena bingung
memahamkan maksud pertanyaan, akhirnya salah seorang teman menunjukan gambar masjid benteng kepada
penjual kacamata. Ia paham, lalu menunjukan jalan kepada kami.
Ternyata
letak benteng hanya kurang lebih tiga ratus meter dari tempat kami bertanya. Tapi karena
tertutup oleh bangunan tinggi, benteng
tak terlihat. Sebenarnya jika jeli, gerbang benteng bisa terlihat dari jalan
raya melalui mulut gang yang jaraknya hanya sekitar dua puluh meter.
Kami memasuki benteng Rawat. Posisi benteng di bangun
atas sebuah bukit tapi karena bangun pertokoan dan rumah-rumah penduduk saat
ini jauh lebih tinggi sehingga banteng bisa
tidak terlihat jelas dari jalan raya.
Bangunan benteng sudah banyak yang roboh. Dinding dan kamar-kamarnya banyak yang telah hancur. Sebagian telah
ditumbuhi rumput. lima ekor kambing berkeliaran di dalam
benteng. Beberapa tembok rumah penduduk rapat dengan benteng.
Di dalam benteng terdapat kuburan Sultan Sarang Khan dan enam belas putranya dikubur.
Mereka gugur saat pertempuran melawan pasukan Shah Suri yang dikenal
dengan lion of Afganistan. Pasukan
Sultan Sarang Khan kalah telak. Mereka tak mampu membendung serangan pasukan Shah Suri. Seluruh pasukannya diobrak
abrik. Bahkan ia dan enam belas putra serta beberpa jendralnya gugur dalam
pertempuran tersebut. Mereka kemudian dikubur dalam benteng. Kekelahan tersebut
menandai jatuhnya benteng Rawat ke tangan Shah Suri dan Pasukannya.
Kami menyempatkan solat Duhur berjamah di Masjid Jami Benteng. Usai solat
kami melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya adalah stupa tempat ibadah peniggalan Budha di desa Mankiala. hanya sekitar dua puluh menit perjalanan bermotor dari Benteng Rawat. Tidak terlalu sulit
menemukan tempatnya. Apalagi kami dituntun oleh seorang kenalan dijalan. Namanya Walid, yang kebetulah satu arah perjalanan dengan kami. Dari jalan raya ia menunjukan
letak Stupa. Kami belok kiri. Jaraknya hanya kurang lebih satu kilometer dari jalan raya.
Setelah menyeberangi rel kereta api, stupa Mankiala telihat jelas. Letaknya pas di depan sebuah Markaz (pasar). Pemerintah telah memagari sekeliling stupa sehingga tak seorang pengunjung pun boleh masuk. Dari celah-celah susunan batu stupa tumbuh rerumputan. Beberapa batanya telah roboh. Sebagian lainya telah direnovasi dan diganti dengan bata baru. Kami hanya mengambil gambar dari luar. Setelah itu menyempatkan nyeruput chai di warung chaca Razanfar Iqbal di markaz depan stupa. lalu kembali melajutkan perjalananan.
Setelah menyeberangi rel kereta api, stupa Mankiala telihat jelas. Letaknya pas di depan sebuah Markaz (pasar). Pemerintah telah memagari sekeliling stupa sehingga tak seorang pengunjung pun boleh masuk. Dari celah-celah susunan batu stupa tumbuh rerumputan. Beberapa batanya telah roboh. Sebagian lainya telah direnovasi dan diganti dengan bata baru. Kami hanya mengambil gambar dari luar. Setelah itu menyempatkan nyeruput chai di warung chaca Razanfar Iqbal di markaz depan stupa. lalu kembali melajutkan perjalananan.
Tujuan berikutnya benteng Sangni. Dari Mankiala link, kami belok ke kiri arah Lahore. Di peta
tertera benteng Sangni berjarak tujuh puluh kilometer dari Islamabad. Kami telah
melalui kurang lebih dua puluh lima kilo meter. masih ada empat puluh kilo meter lagi perjalanan yang akan
kami tempuh. Karena hp kami sudah drop, kami akhirnya mengandalkan offline map.
Alhasil, kami salah arah. Harusnya mutar kembali ke arah Rawat kami justru semakin
menjauh ke arah Lahore.
Terpaksa kami membuka ulang peta. Ada dua pilihan. Kembali
ke Rawat
kemudian mengambil jalur arah
Kallar Syedan atau meneruskan perjalan menuju Gujar Khan. Dari Gujar Khan lalu belok ke arah Mera Syams. Kepalang tanggung, berbalik arah pun juah, kami akhirnya memilih meneruskan perjalanan ke Gujar Khan. Kurang
lebih dua puluh kilometer dari kota Rawat.
Sesampai di Gujar Khan, kami menanyakan jalan menuju Mera syams. Beberapa orang yang kami tanya
tidak tau arah ke perkampungan tersebut. Kami lalu menunjukan tulisan dalam bahasa
latin dan urdu. Dan
pantas saja mereka tidak tau, ternyata lagi-lagi kami kurang fasih menyebutkan
nama perkampugan itu. Orang Pakistan membaca "Mera Syams" dengan "Meeraa Sames". Pak
Kurram salah seorang sopir qinqi di
sekitar pasar Gujar Khan menunujukan
jalan menuju Mera Syams. Beliau bahkan mengantar kami hingga perempatan jalan.
Jalan ke perkampungan Mera Syams tidak semulus jalan-jalan kota. Banyak
jalan yang rusak. Jalan berlubang, kubangan air, gerobolan binatang ternak, naik turun bukit dan pada akhirnya
nyasar di sebuah perkampungan di Kallar Syedan setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu
setengah jam. Seorang penduduk
kampung menyarakan kami mengambil arah berbalik ke Mera Syams jika ingin lebih cepat sampai ke qila atau
benteng Sangni. meski kata dia tetap ada jalan jika ingin lanjut. tapi lebih jauh. kami mengikuti saran untuk berbalik arah. Dari perkampungan Mera syams kami menyusuri jalan sempit tak beraspal
menuju benteng. Rasa lega
meyusup saat kami bisa melihat benteng dari kejauhan.
Di benteng kami bertemu seorang remaja namanya Wasim Khan. iya kemudian menjadi guide dadakan kami. Benteng Sangni
dibangun kokoh di tepi jurang. Benteng masih terawat secara baik. Jauh lebih bersih di banding benteng Rawat. Tidak tidak terlalu banyak kerusakan di tembok ataupun kamar-kamarnya. Ada sebuah kuburan di
dalam benteng. lantai benteng dibangun lebar hingga ke atas aliran sungai. Sebuah lubang kecil di lantai benteng dibuat untuk menjatuhkan timba air langsung ke sungai. Mereka memanfaatkan aliaran sungai sebagai
sumber air. Terdapat juga sebuah masjid kecil, Kami menunaikan solat Ashar di mesjid
tersebut.
Hanya ada satu jalan menuju benteng. Di dalam benteng, saya mebanyangkan betapa sulitnya
menaklukkan benteng Sangni. Meskipun
benteng terbilang kecil, tapi
jalur untuk menyerbu gerbang
benteng sangat sempit. Dan tentu
sangat mudah bagi prajurit dalam benteng memuntahkan anak panah ke arah penyerang untuk membedung pergerakan lawan yang mencoba melalui jalan sempit tersebut.
Kecuali jika benteng dikepung
dalam jangka waktu lama
hingga persediaan makan habis atau membendung aliran airnya sehingga menyulitkan orang-orang yang
berlindung dalam benteng mendapat suplai air.
Puas keliling benteng kami, beranjak pulang. Wasim mengajak kami pulang
bareng, sekalian menunjukan jalan yang lebih bagus, mudah dan beraspal melalui kampung dia. Kampung
Takaal namanya. kami kemudian
diajak singgah minum di sebuah kios di depan rumah Wasim.
Sebelum kembali melanjutkan perjalanan pulang. Banyak hal yang bisa kami pelajari dari perjalanan ini. dan yang terpenting, tak hanya yang malu bertanya akan sesat di jalan. yang bertanya pun, jika salah mengajukan pertanyaan akan tersesat dalam perjalanannya.
No comments:
Post a Comment