Tuesday 20 September 2016

Segenggam Ibrah dari Perjalanan ke Benteng Rawat, Stupa Mangkiala dan Benteng Sangni

Ide jalan-jalan muncul ketika acara pemotongan hewan Qurban PPMI Pakistan. Saya dan tiga orang teman berencana mengunjungi benteng peninggalan bersejarah di distrik Rawalpidi. Kurang  lebih delapan belas kilometer dari pusat kota Islamabad.  

Kami berangkat menggunkan dua sepeda motor. Setelah melalui perjalanan kurang lebih lima puluh menit kami tiba kota Rawat, perbatasan antara Islamabad dan Rawalpindi. Kota pertama setelah keluar dari Islamabad. Di kota Rawat inilah terdapat sebuah benteng yang dibangun pada awal abad ke enam belas. 

Namanya benteng Rawat. Nama  Rawat diambil dari bahasa Arab "Ribaat". Dalam bahasa Urdu  "Seria" yang berarti Patroli atau berjaga-jaga. Benteng tersebut merupakan  basis pertahanan suku Gukhars yang dipimpin oleh Sultan Sarang Khan. Sultan Sarang Khan merupakan salah seorang pemimpinan yang loyal kepada kekaisaran Mughal yang pada saat itu berpusat di Delhi. 


Kekuasaan Sultan Sarang terbentang dari Rawalpindi Hingga Islamabad. Bahkan perkampungan wisata Saidpur di pinggir kota Islamabad, dulunya merupakan wilayah kekuasaan Sultan Sarang. Said Pur kemudian ia hadiahkan kepada putrinya yang menikah dengan Raja Mughal.

Sesampai di kota Rawat, kami bertanya ke beberapa orang letak Rawat Fort. Namun tak ada yang paham makna fort. Hampir semua yang kami tanya menjawab “ye Rawat” artinya ini kota Rawat". Tapi ketika menanyakan Rawat Fort semua menggeleng, “Patha Nehi Bhai” jawab mereka tidak tahu.  

Susah mencari orang yang bisa yang berbahasa Ingris, sementara kami tidak lancar berbahasa urdu. Sialnya lagi, kami tidak sempat mencari makna benteng dalam bahasa Urdu sebelum jalan. Karena bingung memahamkan maksud pertanyaan, akhirnya salah seorang teman menunjukan gambar masjid benteng kepada penjual kacamata. Ia paham, lalu menunjukan jalan kepada kami.

Ternyata letak benteng hanya kurang lebih tiga ratus meter dari tempat kami bertanya. Tapi karena tertutup oleh bangunan tinggi, benteng tak terlihat. Sebenarnya jika jeli, gerbang benteng bisa terlihat dari jalan raya melalui mulut gang yang jaraknya hanya sekitar dua puluh meter.

Kami memasuki benteng Rawat. Posisi benteng  di bangun atas sebuah bukit tapi karena bangun pertokoan dan rumah-rumah penduduk saat ini jauh lebih tinggi sehingga banteng  bisa tidak  terlihat jelas dari jalan raya.

Bangunan benteng sudah banyak yang roboh. Dinding dan kamar-kamarnya banyak yang telah hancur. Sebagian telah ditumbuhi rumput. lima ekor kambing berkeliaran di dalam benteng. Beberapa tembok rumah penduduk rapat dengan benteng.

Di dalam benteng terdapat kuburan Sultan Sarang Khan dan enam belas putranya dikubur. Mereka gugur saat pertempuran melawan pasukan Shah Suri yang dikenal dengan lion of Afganistan. Pasukan Sultan Sarang Khan kalah telak. Mereka tak mampu membendung serangan pasukan Shah Suri. Seluruh pasukannya diobrak abrik. Bahkan ia dan enam belas putra serta beberpa jendralnya gugur dalam pertempuran tersebut. Mereka kemudian dikubur dalam benteng. Kekelahan tersebut menandai jatuhnya benteng Rawat ke tangan Shah Suri dan Pasukannya.

Kami menyempatkan solat Duhur berjamah di Masjid Jami Benteng. Usai solat kami melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya adalah stupa tempat ibadah peniggalan Budha di desa Mankiala. hanya sekitar dua puluh menit perjalanan bermotor dari Benteng Rawat. Tidak terlalu sulit menemukan tempatnya. Apalagi kami dituntun oleh seorang kenalan dijalan. Namanya Walid, yang kebetulah satu arah perjalanan dengan kami. Dari jalan raya ia menunjukan letak Stupa. Kami belok kiri. Jaraknya hanya kurang lebih satu kilometer dari jalan raya. 

Setelah menyeberangi rel kereta api, stupa Mankiala telihat jelas. Letaknya pas di depan sebuah Markaz (pasar). Pemerintah telah memagari sekeliling stupa sehingga tak seorang pengunjung pun boleh masuk. Dari celah-celah susunan batu stupa tumbuh rerumputan. Beberapa batanya telah roboh. Sebagian lainya telah direnovasi dan diganti dengan bata baru. Kami hanya mengambil gambar dari luar. Setelah itu menyempatkan nyeruput chai di warung chaca Razanfar Iqbal di markaz depan stupa. lalu kembali melajutkan perjalananan.

Tujuan berikutnya benteng Sangni. Dari Mankiala link, kami belok ke kiri arah Lahore. Di peta tertera benteng Sangni berjarak tujuh puluh kilometer dari Islamabad. Kami telah melalui kurang lebih dua puluh lima kilo meter. masih ada empat puluh kilo meter lagi perjalanan yang akan kami tempuh. Karena hp  kami sudah drop, kami akhirnya mengandalkan offline map. Alhasil, kami salah arah. Harusnya mutar kembali ke arah Rawat kami justru semakin menjauh ke arah Lahore. 

Terpaksa kami membuka ulang peta. Ada dua pilihan. Kembali ke Rawat
kemudian mengambil jalur arah Kallar Syedan atau meneruskan perjalan menuju Gujar Khan. Dari Gujar Khan lalu belok ke arah Mera Syams. Kepalang tanggung, berbalik arah pun juah, kami akhirnya memilih meneruskan perjalanan ke Gujar Khan. Kurang lebih dua puluh kilometer dari kota Rawat. 

Sesampai di Gujar Khan, kami menanyakan jalan menuju  Mera syams. Beberapa orang yang kami tanya tidak tau arah ke perkampungan tersebut. Kami lalu menunjukan tulisan dalam bahasa latin dan urdu. Dan pantas saja mereka tidak tau, ternyata lagi-lagi kami kurang fasih menyebutkan nama perkampugan itu. Orang Pakistan membaca "Mera Syams" dengan "Meeraa Sames". Pak Kurram salah seorang sopir qinqi di sekitar pasar Gujar Khan menunujukan jalan menuju Mera Syams. Beliau bahkan mengantar kami hingga perempatan jalan.

Jalan ke perkampungan Mera Syams tidak semulus jalan-jalan kota. Banyak jalan yang rusak. Jalan berlubang, kubangan air, gerobolan binatang ternak, naik turun bukit dan pada akhirnya nyasar di sebuah perkampungan di Kallar Syedan setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam. Seorang penduduk kampung menyarakan kami mengambil arah berbalik ke Mera Syams jika ingin lebih cepat sampai ke qila atau benteng Sangni. meski kata dia tetap ada jalan jika ingin lanjut. tapi lebih jauh. kami mengikuti saran untuk berbalik arah. Dari perkampungan Mera syams kami menyusuri jalan sempit tak beraspal menuju benteng. Rasa lega meyusup saat kami bisa melihat benteng dari kejauhan.

Di benteng kami bertemu seorang remaja namanya Wasim Khan. iya kemudian menjadi guide dadakan kami. Benteng Sangni dibangun kokoh di tepi jurang. Benteng masih terawat secara baik. Jauh lebih bersih di banding benteng Rawat. Tidak tidak terlalu banyak kerusakan di tembok ataupun kamar-kamarnya. Ada sebuah kuburan di dalam benteng. lantai benteng dibangun lebar hingga ke atas aliran sungai. Sebuah lubang kecil di lantai benteng dibuat untuk menjatuhkan timba air langsung ke sungai. Mereka memanfaatkan aliaran sungai sebagai sumber air. Terdapat juga sebuah masjid kecil, Kami menunaikan solat Ashar di mesjid tersebut.     

Hanya ada satu jalan menuju benteng. Di dalam benteng, saya mebanyangkan betapa sulitnya menaklukkan benteng Sangni. Meskipun benteng terbilang kecil, tapi jalur untuk menyerbu gerbang benteng sangat sempit. Dan tentu sangat mudah bagi prajurit dalam benteng memuntahkan anak panah ke arah penyerang  untuk membedung pergerakan lawan yang mencoba melalui jalan sempit tersebut. Kecuali jika benteng dikepung dalam jangka waktu lama hingga persediaan makan habis atau membendung aliran airnya sehingga menyulitkan orang-orang yang  berlindung dalam benteng mendapat suplai air.

Puas keliling benteng kami, beranjak pulang. Wasim mengajak kami pulang bareng, sekalian menunjukan jalan yang lebih bagus, mudah dan beraspal melalui kampung dia. Kampung Takaal namanya. kami kemudian diajak singgah minum di sebuah kios di depan rumah Wasim. Sebelum kembali melanjutkan perjalanan pulang. Banyak hal yang bisa kami pelajari dari perjalanan ini. dan yang terpenting, tak hanya yang malu bertanya  akan sesat di jalan. yang bertanya pun, jika salah mengajukan pertanyaan akan tersesat dalam perjalanannya.

No comments:

Post a Comment