Beberapa puluh
tahun silam, Rene Deskartes (1596–1650) pernah mengungkapkan "Cogito ergo
sum" (aku berpikir maka aku ada). Kalimat ini kemudian
"dipelesetkan" oleh salah seorang teman yang gemar menulis, dia
mengatakan "aku menulis maka aku ada" sebuah kalimat untuk
mengungkapkan existensi diri. Bagi teman tersebut, dengan menulis ia merasa
berguna, mampu berbagi manfaat bagi sesama. Baginya menulis bukan sekedar
mencoret tapi lebih dari itu, ia menulis lalu ia pun mengakui eksistensi
dirinya.
Sebuah
ungkapan "bangsa yang bijak adalah bangsa yang pandai belajar dari
sejarah" dengan belajar dari sejarah sebuah bangsa dapat menata masa
depan, menyusun rencana lalu mencapai tujuan. Sementara meninggalkan sejarah,
sebuah bangsa akan buta dan bisa terjatuh dua tiga kali pada lubang yang sama.
Artinya, meninggalkan sejarah sama dengan memasang tirai penutup bagi masa
depan bangsa. Sebaliknya, mempelajarinya maka tirai itu tersingkap dan dengan
itulah bangsa tersebut bisa menata masa
depan.
Sejarah
dengan usianya yang panjang menjadi pintu kemajuan sebuah bangsa. Sederhananya
seperti ini; belajar – mengetahui – mempelajari (baca: mengambil
pelajaran/ibrah) maka tak bisa dipungkiri bahwa sejarah yang telah sampai
kepada kita yang menjadi landasan
membangun bangsa ini merupakan salah satu buah dari mata pena.
Menulis bagi
sebagian orang menjadi kegiatan yang tidak menarik. Di samping membosankan atau
menjenuhkan, menulis bisa jadi menyulitkan. Hingga anggapan bahwa menulis itu
tidak gampang di-iya-kan oleh kebanyakan orang. hal ini tentu menjadi
keperihatinan tersendiri ketika fenomena ini juga menggejala di sebagian besar
akademisi yang notabene sebagai generasi penerus bangsa. Menulis ketika belum
dipahami sebagai aktifitas otak dan hati, terkesan sebagai kegiatan yang sepele
atau tidak penting. Padahal betapa pentingnya menulis bagi peradaban manusia
telah diakui dunia menjadi kebutuhan vital bagi kemajuan suatu generasi dan
bangsa. Apabila tidak ada aktifitas menulis, dunia akan diselimuti kegelapan
dan stagnansi. Tidak ada sejarah, tidak ada budaya, tidak ada ilmu pengetahuan
yang dapat diturunkan untuk kemajuan bangsa dan dunia, sehingga dunia menjadi
gelap gulita.
Sejarah
telah mencatat bagaimana lemahnya sebuah bangsa yang penduduknya tidak memiliki
kemampuan menulis dan membaca. Awal abad XX ditandai dengan meletusnya perang
antara Jepan dan Rusia yang berakhir dengan kekalahan telak bagi Rusia pada
pertempuran laut selatan Tsusima. "Penentu hasil perang" kata
Geoffrey Jukes, penulis buku Russo-Japanese War "bukan kecanggihan
teknologi tapi tingkat literasi" Rusia unggul dalam hal pesenjataan, namun
hanya 20 persen personelnya yang mampu baca tulis akibatnya mereka tidak mampu
mengoprasikan senjata secara benar, tak mampu menjalankan instruksi secara baik
sementara Jepan, hampir semua personelnya memiliki kemampuan baca tulis yang
baik.
Bangsa yang
didiami oleh banyak penulis akan melahirkan generasi cerdas dan berwawasan
luas. Melalui tulisannya seorang menularkan pengetahuan dan ide-ide cerdasnya.
tidak hanya itu, banyaknya tulisan yang terbit baik berupa buku, majalah,
tabloid, buletin atau karya tulis bentuk lainnya sebagai curahan ide, gagasan,
pendapat, pikiran atau perasaan sebagai hasil olah pikir dan olah hati manusia,
akan meransang tumbuhnya semangat membaca bagi masyarakat luas terbih bagi
penulis itu sendiri. Mengabadikan hidup dengan menulis merupakan harta paling
berharga yang diwariskan kepada generasi mendatang sebagai pemegang tongkat
stafet perjuangan bangsa. Banyak pemikir-pemikir hebat yang berhasil mengubah
bangsanya bahkan dunia dengan gagasan dan tulisan-tulisannya, tersebutlah Ibnu
Sina dengan 'kitab al-Syifa-nya' dan 'al Qonun al- Tibb' yang menjadi titik
tolak kemajuan dunia kedokteran, Jabin ibn Hayyan dengan 'al Kitab al Kimya-nya'
merupakan kontribusi besar bagi kemajuan ilmu kimia, atau 'Revolusi Pikirannya'
Buya Hamka, 'berpikir dan berjiwa besar' yang telah melahirkan
"segudang" orang sukses karya monumental David J. Schwartz, serta
masih banyak lagi karnya pemikir hebat yang menjadi sumber inspirasi kemajuan
peradaban. Itulah sebahagian kecil bukti
betapa pentingnya menulis. tentunya
menulis juga dapat menghilangkan trauma dan menyehatkan otak.
Di
Indonesia, untuk saat ini, membaca dan menulis menjadi pekerjaan yang jarang
dilakukan, jangankan orang awam, kaum akademis pun sangat sedikit yang hobi
membaca dan menulis. Banyak dosen mengeluh melihat perkembangan mahasiswanya, hal
ini bukan rahasia umum lagi. Sebuah media pernah memuat bahwa minat baca bangsa
ini masih sangat rendah, sehingga untuk bersaing dengan Negara-negara maju
masih membutuhkan waktu yang lama.
membaca dan
menulis akan berjalan berdampingan, karena apa saja yang telah dibaca akan
menjadi inspirasi untuk menulis dan apa saja yang telah ditulis tentunya akan
dibaca. “Menulis" kata Pramoedya Ananta Toer "adalah bekerja untuk
keabadian“.
Membiasakan membaca dan menulis butuh
proses dan waktu untuk bisa membumikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penelititan Human Development Indeks (HDI) yang dikeluarakn oleh
UNDP untuk melek huruf 2002 menempatkan
Indonesia di ururtan 110 dari 173 negara yang ditelitit dan posisi tersebut turun
padan 2009 ke urutan 111. Sementara Progress in International Reading Litercy
Study melaporkan berdasarkan riset lima tahun pada 2006 yang melibatkan siswa
SD, menempatkan Indonesia diurutan ke 36 dari 40 negara yang menjadi sample
penelitian indonesia hanya ungggul dari Qatar, Kuwait, Maroko dan Afrika
Selatan. Yang lebih menyedihkan lagi, dari data CSM perbandingan buku yang
wajib dibaca oleh siswa SMA di 13
negara. Amerika 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepan 20 buku,
Swiss 15 buku,Kanada 13 buku, Rusia 12 buku,
Brunai Darussalam, Singapura 6, Thailand 5, Indonesia 0 buku. Hal ini
disebabkan karena minimnya guru dan
terbatasnya perpustakaan dan koleksi tulisan.
"Menulis
adalah lidah para intelektual"
begitu kata bang Hendri Tanjung dalam bukunya 'Mari Menulis'. Artinya semakin
banyak penulis dalam suatu negaeri menunjukkan banyaknya manusia-manusia intlek
yang mendiami negeri tersebut atau paling tidak akan lahir bayak calon
intlektual dimasa medatang. Kita menulis, maka bangsa ini ada.
oleh : Ibnu Zein
No comments:
Post a Comment