Monday 1 April 2013

Mata Pena Bagi Kemajuan Sebuah Bangsa




Beberapa puluh tahun silam, Rene Deskartes (1596–1650) pernah mengungkapkan "Cogito ergo sum" (aku berpikir maka aku ada). Kalimat ini kemudian "dipelesetkan" oleh salah seorang teman yang gemar menulis, dia mengatakan "aku menulis maka aku ada" sebuah kalimat untuk mengungkapkan existensi diri. Bagi teman tersebut, dengan menulis ia merasa berguna, mampu berbagi manfaat bagi sesama. Baginya menulis bukan sekedar mencoret tapi lebih dari itu, ia menulis lalu ia pun mengakui eksistensi dirinya.
Lantas apa urgensi menulis bagi sebuah bangsa?
Sebuah ungkapan "bangsa yang bijak adalah bangsa yang pandai belajar dari sejarah" dengan belajar dari sejarah sebuah bangsa dapat menata masa depan, menyusun rencana lalu mencapai tujuan. Sementara meninggalkan sejarah, sebuah bangsa akan buta dan bisa terjatuh dua tiga kali pada lubang yang sama. Artinya, meninggalkan sejarah sama dengan memasang tirai penutup bagi masa depan bangsa. Sebaliknya, mempelajarinya maka tirai itu tersingkap dan dengan itulah  bangsa tersebut bisa menata masa depan.
  Ada beberapa cara mempelajari sejarah. Diantaranya mendengar dan membaca. dengan mendengar penuturan penutur maka ceritera itu berpindah dan dapat diketahui. Namun, tak semua orang mampu menuturkan dan mendengar sejarah seutuhnya, sebab, tak semua orang mampu duduk berlam-lama bercerita atau menjadi pendengar yang baik. Dan tentunya jangkau pembicara terbatas pada orang-orang yang ada disekitarnya Ia pun terbatas pada kekuataan ingatan serta usia si penutur. Jika usianya berakhir maka terputuslah rantai kesinambungan sejarah. Sementara, sejarah yang diceritkan dengan mata pena, bisa saja ia dibatasi oleh daya ingat sehingga tak semua tertuliskan, namun sejarah yang telah tertulisakan usianya selalu lebih panjang dari pelaku sejarah bahkan penulis sejarah itu sendiri.
Sejarah dengan usianya yang panjang menjadi pintu kemajuan sebuah bangsa. Sederhananya seperti ini; belajar – mengetahui – mempelajari (baca: mengambil pelajaran/ibrah) maka tak bisa dipungkiri bahwa sejarah yang telah sampai kepada kita  yang menjadi landasan membangun bangsa ini merupakan salah satu buah dari mata pena.
Menulis bagi sebagian orang menjadi kegiatan yang tidak menarik. Di samping membosankan atau menjenuhkan, menulis bisa jadi menyulitkan. Hingga anggapan bahwa menulis itu tidak gampang di-iya-kan oleh kebanyakan orang. hal ini tentu menjadi keperihatinan tersendiri ketika fenomena ini juga menggejala di sebagian besar akademisi yang notabene sebagai generasi penerus bangsa. Menulis ketika belum dipahami sebagai aktifitas otak dan hati, terkesan sebagai kegiatan yang sepele atau tidak penting. Padahal betapa pentingnya menulis bagi peradaban manusia telah diakui dunia menjadi kebutuhan vital bagi kemajuan suatu generasi dan bangsa. Apabila tidak ada aktifitas menulis, dunia akan diselimuti kegelapan dan stagnansi. Tidak ada sejarah, tidak ada budaya, tidak ada ilmu pengetahuan yang dapat diturunkan untuk kemajuan bangsa dan dunia, sehingga dunia menjadi gelap gulita.
Sejarah telah mencatat bagaimana lemahnya sebuah bangsa yang penduduknya tidak memiliki kemampuan menulis dan membaca. Awal abad XX ditandai dengan meletusnya perang antara Jepan dan Rusia yang berakhir dengan kekalahan telak bagi Rusia pada pertempuran laut selatan Tsusima. "Penentu hasil perang" kata Geoffrey Jukes, penulis buku Russo-Japanese War "bukan kecanggihan teknologi tapi tingkat literasi" Rusia unggul dalam hal pesenjataan, namun hanya 20 persen personelnya yang mampu baca tulis akibatnya mereka tidak mampu mengoprasikan senjata secara benar, tak mampu menjalankan instruksi secara baik sementara Jepan, hampir semua personelnya memiliki kemampuan baca tulis yang baik.
Bangsa yang didiami oleh banyak penulis akan melahirkan generasi cerdas dan berwawasan luas. Melalui tulisannya seorang menularkan pengetahuan dan ide-ide cerdasnya. tidak hanya itu, banyaknya tulisan yang terbit baik berupa buku, majalah, tabloid, buletin atau karya tulis bentuk lainnya sebagai curahan ide, gagasan, pendapat, pikiran atau perasaan sebagai hasil olah pikir dan olah hati manusia, akan meransang tumbuhnya semangat membaca bagi masyarakat luas terbih bagi penulis itu sendiri. Mengabadikan hidup dengan menulis merupakan harta paling berharga yang diwariskan kepada generasi mendatang sebagai pemegang tongkat stafet perjuangan bangsa. Banyak pemikir-pemikir hebat yang berhasil mengubah bangsanya bahkan dunia dengan gagasan dan tulisan-tulisannya, tersebutlah Ibnu Sina dengan 'kitab al-Syifa-nya' dan 'al Qonun al- Tibb' yang menjadi titik tolak kemajuan dunia kedokteran, Jabin ibn Hayyan dengan 'al Kitab al Kimya-nya' merupakan kontribusi besar bagi kemajuan ilmu kimia, atau 'Revolusi Pikirannya' Buya Hamka, 'berpikir dan berjiwa besar' yang telah melahirkan "segudang" orang sukses karya monumental David J. Schwartz, serta masih banyak lagi karnya pemikir hebat yang menjadi sumber inspirasi kemajuan peradaban.  Itulah sebahagian kecil bukti betapa pentingnya menulis.  tentunya menulis juga dapat menghilangkan trauma dan menyehatkan otak.
Di Indonesia, untuk saat ini, membaca dan menulis menjadi pekerjaan yang jarang dilakukan, jangankan orang awam, kaum akademis pun sangat sedikit yang hobi membaca dan menulis. Banyak dosen mengeluh melihat perkembangan mahasiswanya, hal ini bukan rahasia umum lagi. Sebuah media pernah memuat bahwa minat baca bangsa ini masih sangat rendah, sehingga untuk bersaing dengan Negara-negara maju masih membutuhkan waktu yang lama.
membaca dan menulis akan berjalan berdampingan, karena apa saja yang telah dibaca akan menjadi inspirasi untuk menulis dan apa saja yang telah ditulis tentunya akan dibaca. “Menulis" kata Pramoedya Ananta Toer "adalah bekerja untuk keabadian“.
 Membiasakan membaca dan menulis butuh proses dan waktu untuk bisa membumikannya dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan penelititan Human Development Indeks (HDI) yang dikeluarakn oleh UNDP untuk  melek huruf 2002 menempatkan Indonesia di ururtan 110 dari 173 negara yang ditelitit dan posisi tersebut turun padan 2009 ke urutan 111. Sementara Progress in International Reading Litercy Study melaporkan berdasarkan riset lima tahun pada 2006 yang melibatkan siswa SD, menempatkan Indonesia diurutan ke 36 dari 40 negara yang menjadi sample penelitian indonesia hanya ungggul dari Qatar, Kuwait, Maroko dan Afrika Selatan. Yang lebih menyedihkan lagi, dari data CSM perbandingan buku yang wajib dibaca  oleh siswa SMA di 13 negara. Amerika 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepan 20 buku, Swiss 15 buku,Kanada 13 buku, Rusia 12 buku,  Brunai Darussalam, Singapura 6, Thailand 5, Indonesia 0 buku. Hal ini disebabkan karena  minimnya guru dan terbatasnya perpustakaan dan koleksi tulisan.
"Menulis adalah lidah para  intelektual" begitu kata bang Hendri Tanjung dalam bukunya 'Mari Menulis'. Artinya semakin banyak penulis dalam suatu negaeri menunjukkan banyaknya manusia-manusia intlek yang mendiami negeri tersebut atau paling tidak akan lahir bayak calon intlektual dimasa medatang. Kita menulis, maka bangsa ini ada.
 oleh : Ibnu Zein

No comments:

Post a Comment